Pendidikan Inklusif yang Tersandra Oleh Kepentingan

oleh : Bima Kurniawan
dosen Universitas Trunojoyo Madura

Pendidikan inklusif adalah pendekatan pendidikan yang memperhatikan kebutuhan dan hak semua individu, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus atau disabilitas dalam mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu. Tujuan pendekatan pendidikan ini adalah untuk menyediakan, memberikan dan memastikan kesempatan yang sama dan berkeadilan bagi semua orang untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas. Pendekatan pendidikan ini pula bertujuan untuk mempromosikan dan melestarikan keberagaman kebhinekaan Indonesia dalam kesetaraan di antara siswa. Prinsip dasar di dalam pendidikan inklusif adalah adanya penghargaan dan pengakuan akan keberagaman setiap individu, serta penghormatan terhadap hak seluruh siswa untuk belajar dan berkembang secara mandiri.

Prinsip dasar pendidikan inklusif yang berupa pengakuan dan penghargaan merupakan secara bathiniah kodrat yang telah diberikan oleh Tuhan kepada makhluknya. Sehingga jika hanya prinsip ini yang dilakukan, dan pada kenyataannya demikian yang dirasakan oleh siswa berkebutuhan khusus, maka interaksi antara orang berkebutuhan khusus dengan orang bukan berkebutuhan khusus hanya sebatas welas asih saja. Akan tetapi, pendekatan human right yang menjadi landasan menginklusifkan segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya pendidikan harus dikedepankan. Prinsip yang harus dikedepankan itu, yang merupakan prinsip utama di dalam pendidikan inklusif dan yang pula masih menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat Indonesia adalah dengan penekanan pada pentingnya partisipasi dan pencapaian prestasi semua siswa dalam aktivitas belajar, baik di dalam maupun di luar kelas. Lantas kenapa partisipasi dan pencapaian prestasi masih menjadi hambatan yang sangat berarti di dalam pelaksanaan pendidikan Inklusif, berikut adalah sebagian jawabannya :

1. Pendidikan inklusif hanya dijadikan proyek oleh pihak tertentu
Hal yang sangat menyedihkan adalah pemanfaatan oleh sebagian pihak terhadap isu-isu inklusif hanya untuk mendapatkan popularitas dan keuntungan pribadi semata. Jika kita cermati secara seksama, beberapa pelatihan yang mengatasnamakan “inklusivitas” atau secara spesifik “pendidikan inklusif” jauh dari penerapan nilai dasar atau prinsip pendidikan inklusif. Sebagai salah satu contoh, penyelenggara pelatihan yang bertemakan pendidikan inklusif sangat memberikan kesan materialistis dengan meminta calon peserta untuk men-subscribe salah satu kanal youtubenya, melakukan tangkapan layar dan kemudian mengunggah di formulir pendaftaran. Perilaku ini sangat jauh dari prinsip teknologi sederhana dan dapat diakses oleh semua. Prinsip sederhana dan dapat diakses oleh semua adalah suatu pendekatan dalam pengembangan teknologi yang menekankan pada sederhana, mudah digunakan, dan dapat diakses oleh semua orang tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau kemampuan fisik dan mental. Prinsip ini mengusung gagasan bahwa tek ologi harus digunakan untuk memfasilitasi kebutuhan manusia secara luas dan umum sebagai sarana pemecahan masalah dan pencarian solusi dari masalah sosial dan lingkungan. Pada permintaan tangkapan layar yang kemudian dijadikan salah satu bukti bagi calon peserta pelatihan telah menodai asas kesetaraan dan berpotensi diskriminasi khususnya bagi penyandang disabilitas netra dalam melangsungkan kemadiriannya. Mengapa ? jawabannya adalah karena hambatan disabilitas netra adalah dalam visualisasi, ketika penyandang disabilitas netra ingin mengikuti pelatihan sebagai sarana pengembangan kompetensi memiliki resiko dalam melakukan tangkapan layar yang kemudian diunggah dan menjadi konsumsi publik. Pemerintah harus segera menertipkan para penyelenggara pelatihan yang melakukan tindakan seperti ini agar tidak terlalu jauh pendidikan inklusif tersandra dan dijadikan keuntungan beberapa pihak saja.

2. Minimnya dukungan dan sumber daya yang diperlukan untuk memfasilitasi pembelajaran yang efektif bagi semua siswa
Pada poin ini, dukungan di dalam pembelajaran yang inklusif merupakan salah satu dasar utama yang tidak boleh dikesampingkan. Dukungan itu dapat berupa kompetensi guru yang mumpuni di dalam melaksanakan pendidikan inklusif, atau yang saat ini popular dengan pembelajaran berdiferensiasi. Pemerintah harus tepat memonitoring dan mengawasi secara benar-benar kebijakan yang telah ditetapkan itu agar tidak salah alur. terlebih, jangan dilupakan pula instruktur, widyaiswara, dosen yang memberikan pelatihan itu pula harus memiliki integritas dalam “inklusivitas” jangan sampai pintar melatih akan tetapi tidak pandai dalam mempraktikkan apa yang banyak disampaikan. Semua harus bersinergi, pemerintah harus inklusif, instruktur harus inklusif, guru harus inklusif, dan pula peserta didik harus inklusif. Semua harus inklusif agar tercipta lingkungan pendidikan yang inklusif.

3. Sikap represif manusia Indonesia
Sikap ini yang benar-benar harus dihilangkan oleh individu yang memperjuangkan inklusivitas di lingkungan pendidikan. Sikap ini menggambarkan kebiasaan masyarakat Indonesia yang taat pada aturan saat dikenakan sanksi, atau apabila ada tekanan, ancaman dan kekangan dari pihak yang berwenang atau pimpinan dari instansi tertentu. Sikap ini kemudian memberikan dampak akan ketidaksiapan dalam penerimaan, pelibatan yang paripurna peserta didik berkutuhan khusus dalam melangsungkan semua kegiatannya di lingkungan sekolah. Ketidaksiapan sarana dan manusia dalam menyambut kedatangan peserta didik berkebutuhan khusun merupakan salah satu penodaan pada UU no 8 tahun 2016 pasal 10 huruf A yang berbunyi bahwa penyandang disabilitas mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus. Pemerintah harus bertindak tegas dan mensosialisasikan sikap preventif yang harus diambil oleh instansi pendidikan negeri guna menyambut dan memberikan layanan maksimal untuk semua tanpa membedakan kemampuan fisik dan mental.

4. Pendidikan inklusif hanya sebatas di ruang formal saja
Pendidikan inklusif seyogyanya tidak hanya dilangsungkan di ruang formal saja. pendidikan inklusif harus berlangsung selamanya, sepanjang manusia hidup. konsep ini kemudian yang dikenal dengan pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan sepanjang hayat (lifelong learning) adalah konsep pendidikan yang menekankan pentingnya belajar dan pengembangan diri sepanjang hidup. Konsep ini menganggap bahwa pembelajaran bukanlah hanya terjadi di masa sekolah atau kuliah, tetapi juga dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, baik di tempat kerja, di lingkungan sosial, maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Pemerintah dan para penggiat pendidikan inklusif sayangnya saat ini hanya berfokus pada pendidikan di ruang formal saja. padahal terdapat peraturan yang mengatur kehidupan penyandang disabiltas setelah mengenyam pendidikan di ruang formal. Peraturan itu salah satunya adalah pasal 11 UU No. 8 tahun 2016 tentang hak pekerjaan bagi penyandang disabilitas yang berbunyi a. memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau swasta tanpa Diskriminasi, b. memperoleh upah yang sama dengan tenaga kerja yang bukan Penyandang Disabilitas dalam jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang sama, c. memperoleh Akomodasi yang Layak dalam pekerjaan, d. tidak diberhentikan karena alasan disabilitas, e. mendapatkan program kembali bekerja, f. penempatan kerja yang adil, proporsional, dan bermartabat, g. memperoleh kesempatan dalam mengembangkan jenjang karier serta segala hak normatif yang melekat di dalamnya dan h. memajukan usaha, memiliki pekerjaan sendiri, wiraswasta, pengembangan koperasi, dan memulai usaha sendiri.

Sedangkan secara khusus pula diatur di dalam peraturan yang sama pasal 10 B yang berbunyi bahwa penyandang disabilitas mempunyai Kesamaan Kesempatan untuk menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan. Jika kita kaitkan pasal 10 B dan pasal 11 G, berarti bahwa pendidik dengan disabilitas berhak di dalam memperoleh kesempatan dalam mengembangkan jenjang karier serta segala hak normatif yang melekat di dalamnya

Lantas adakah sekarang perlakuan yang inklusif bagi guru dengan disabilitas menjadi guru penggerak ? jawabannya semoga pemerintah dalam hal ini kementerian pendidikan segera memberikan solusi terbaik bahwa semua harus difasilitasi, baik peserta didik maupun pendidik dengan disabilitas harus difasilitasi, guna menunjukkan sikap taat dan loyal pada NKRI dalam menaati segala Undang-undang yang berlaku. Semoga pula tidak ada lagi penolakan bagi pendidik disabilitas dalam mengikuti pelatihan tertentu karena alasan panitia tidak siap dan belum pernah sebelumnya kedatangan pendidik disabilitas.

Oleh karenanya, pendidikan sepanjang hayat harus pula dimaknai sebagai pendidikan inklusif sepanjang hayat. Pendidikan yang menekankan pada pentingnya pengembangan keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dibutuhkan untuk memenuhi tuntutan kehidupan dan mencapai tujuan pribadi dan profesional. Dengan konsep ini, peningkatan, pembaharuan dan perluasan pengetahuan dan keterampilan di tengah perubahan dunia yang semakin cepat dan kompleks diperuntukan semua pihak tanpa adanya pembedaan kemampuan fisik dan mental.

Dalam konteks inklusif, pendidikan sepanjang hayat memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung perkembangan dan kemandirian penyandang disabilitas. Dengan pendidikan sepanjang hayat, penyandang disabilitas dapat memperoleh keterampilan baru, mengembangkan potensi yang ada, dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Pendidikan sepanjang hayat juga dapat membantu menyediakan kesempatan kerja yang lebih baik, memperluas akses pada layanan publik, dan memperkuat partisipasi mereka dalam kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu, sekali lagi pemerintah utamanya dan masyarakat luas sebagai dukungannya harus memperhatikan pentingnya pendidikan sepanjang hayat yang inklusif dan berupaya untuk menyediakan lingkungan belajar yang inklusif dan aksesibel bagi mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan akses informasi dan teknologi yang mudah digunakan, meningkatkan pelatihan dan pendidikan bagi tenaga pendidik dan pelatih yang ramah disabilitas, dan menyediakan fasilitas yang ramah disabilitas di berbagai institusi pendidikan dan tempat kerja.

5. Minimnya keterlibatan penyandang disabilitas dalam pembuatan kebijakan
Pada poin ini yang dimaksud minimnya partisipasi penyandang disabilitas dalam menentukan kebijakan, khususnya kebijakan yang menyangkut pendidikan inklusif adalah kurangnya keterlibatan penyandang disabilitas yang mumpuni secara profesi dan keahlian. Dengan kata lain, untuk membuat kebijakan pendidikan inklusif, pemerintah harus melibatkan semua pihak termasuk di dalamnya pendidik disabilitas sebagai disabilitas yang ahli di dalam pendidikan, dan peserta didik disabilitas sebagai objek di dalam pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar tidak salah sasaran di dalam penentuan kebijakan pendidikan inklusif. Saat ini, Guru disabilitas telah memiliki organisasi profesi yang telah diakui oleh Kemekumham yang dikenal dengan Ikatan Guru Tunanetra Inklusif (IGTI), maka pemerintah dapat mengandeng organisasi ini di dalam penentuan kebijakan yang terkait pendidikan inklusif.

Itulah hambatan-hambatan yang masih menjadi batu sandungan pendidikan inklusif di negara kita tercinta. Semoga dengan terselesaikannya masalah-masalah di atas dapat meningkatkan akselerasi progresif pendidikan inklusif. Kita cinta Indonesia, Kita cinta Bhineka Tunggal Ika.

Salam inklusif….

Artikel ini telah terbit dengan judul “Alasan belum optimalnya pendidikan inklusif di Indonesia” dan “Minimnya sumber daya dan sikap represif masyarakat menjadi tantangan pendidikan inklusif“.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Lewat ke baris perkakas